Jumat, 07 Oktober 2011

Strategi Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Manusia Melalui Modal Intelektual

Oleh: Dr.Eddi Suprayitno, SE.,MM.



ABSTRAK
Strategi merupakan implementasi dari suatu perencanaan perusahaan dalam mencapai tujuan yang diharapkan perusahaan/organisasi. Motor atau penggerak untuk berjalannya suatu perusahaan/organisasi adalah Sumber Daya Manusia. Sumber Daya Manusia merupakan asset organisasi yang sangat vital. Untuk itu dalam mengefektifkan dan pencapaian tujuan organisasi perlu adanya suatu strategi yang handal diantaranya adalah melalui penerapan Modal Intelektual. Ada beberapa keunggulan yang tercipta bagi suatu organiasasi/perusahaan dengan menggunakan strategi Modal Intelektual yaitu; merupakan actor mesin produksi, terciptanya kapabilitas inovasi, pembelajaran organisasi, dan dapat menciptakan keunggulan bersaing.

Pendahuluan
Modal intelektual kini dirujuk sebagai faktor penyebab sukses yang penting dan karenanya akan semakin menjadi suatu pumpunan perhatian dalam kajian strategi organisasi dan strategi pembangunan. Penyimpulan seperti ini dibasiskan di atas temuan-temuan tentang kinerja organisasi-organisasi, khususnya organisasi-organisasi yang padat pengetahuan (knowledge-intensive organizations) (e.g. lihat Bounfour and Edvinsson 2005; Lonnqvist dan Mettanen). Namun, pengalaman-pengalaman pada aras mikro organisasi ini kini juga mulai ditransfer pada konteks kemasyarakatan atau pembangunan pada umumnya. Tema inilah yang diangkat oleh Bounfour dan Edvinsson dalam Intellectual Capital for Communities (2005).

Menyikapi mengapa modal intelektual didudukkan di tempat strategis dalam konteks kinerja atau kemajuan suatu organisasi atau masyarakat, mungkin pertama dapat kita rujuk dari fenomena pergeseran tipe masyarakat dari masyarakat industrialis dan jasa ke masyarakat pengetahuan. Drucker (1997, 2001) misalnya meramalkan datangnya dan sekaligus mendeskripsikan pergeseran ke arah era masyarakat pengetahuan (knowledge society) ini dalam bukunya Manajemen di Tengah Perubahan Besar.1 Dalam masyarakat tipe ini, pengetahuan2, juga kapabilitas untuk belajar (learning capability), dan tindakan berinvestasi untuk maksud membangun basis-basis intelektual merupakan penggerak perubahan yang cepat dalam masyarakat dan karenanya manusia sebagai pekerja pengetahuan (knowledge worker) menjadi aktor utamanya.

Vitalnya kedudukan pengetahuan dalam masyarakat baru ini telah disuarakan juga oleh Alfred Marshall dengan mengatakan bahwa pengetahuan adalah mesin produksi yang paling powerful (dalam Bontis 2005). Juga, konteks ’revolusi pengetahuan’ (Auber 2005) seperti itu, terjadi juga pergeseran model perekonomian ke arah ekonomi pengetahuan (knowledge economy) (Bounfour dan Edvinsson 2005, Aubert 2005) atau ekonomi pembelajaran (learning economy) (Lundvall 1996). Perekonomian yang ber- atau dicirikan pengetahuan memiliki tiga plus satu karakteristik kunci, yakni 1) riset dan pendidikan, 2) relasi ke pertumbuhan, dan 3) pembelajaran dan kapabilitas, serta 4) pentingnya perubahan, dominasi struktur yang (lebih) datar, dan modal sosial. Bank Dunia juga telah memulai program yang disebut sebagai Knowledge for Development untuk mendorong perkembangan negara-negara ke arah knowledge economy.

Kedua, pada tataran mikro perusahaan, tampaknya agak sulit untuk tidak menyertakan atau mengaitkan perkembangan ini di dalam konteks persaingan dan pencarian basis keunggulan kompetitif. Wacana kompetisi dan keunggulan bersaing mengalami pergeseran yang sangat signifikan dalam perkembangan kajian strategi bisnis dan pembangunan ekonomi. Mulanya dikenal teori keunggulan absolut dan keunggulan komparatif dalam konteks interaksi perdagangan atau perekonomian antar wilayah atau internasional. Kemudian muncul pemikiran brilian dari Michael Porter tentang keunggulan bersaing (competitive advantage) di era 1980an. Namun, pandangan Porter kemudian dianggap tidak mampu menjelaskan secara komprehensif fenomena keunggulan sebuah organisasi atau negara dari lainnya. Belakangan muncul aliran baru dalam analisis keunggulan bersaing yang dikenal dengan pendekatan berbasis sumber daya (resource-based view of the firm/RBV). Pandangan terakhir ini saya nilai sebagai yang relevan dalam konteks perekonomian yang kuat dicirikan oleh keunggulan pengetahuan (knowledge/learning economy) atau perekonomian yang mengandalkan aset-aset tan-wujud (intangible assets).

Fenomena kedua ini (konteks persaingan dan keunggulan bersaing) dapat dimengerti ketika setiap organisasi berupaya mencari strategi bersaing dan basis daya saing yang tepat untuk unggul. Konsep strategi itu sendiri, seperti didefinisikan Barney (2007), adalah berkaitan dengan teori sebuah organisasi tentang bagaimana ia berkinerja tinggi dan unggul di dalam bidang bisnisnya. Dalam wacana pencarian cara untuk unggul (baca: strategi), maka terjadi pergeseran pandangan dalam memahami strategi. Jika pada model yang dikembangkan Porter atau disebut pendekatan organisasi industri/OI, strategi adalah semata soal pemosisian di pasar. maka kelompok RBV menilai bahwa nilai ekonomis dan keunggulan kompetitif sebuah organisasi ekonomi terletak pada kepemilikan dan pemanfaatan secara efektif sumber daya organisasi yang mampu menambah nilai (valuable), bersifat jarang dimiliki (rare/scarce/unique), sulit untuk ditiru (imperfectly immitable/hard to copy), dan tidak tergantikan oleh sumber daya lain (non-substitutable) (Barney 1991, 2001, 2007; Lewin and Phelan 1999; Wright, McMahan, dan McWilliams 1992). Oleh karena itu, strategi bersaing harus diletakkan pada upaya-upaya mencari, mendapatkan, mengembangkan, dan memertahankan sumber daya-sumber daya strategis. Dua sumber daya strategis yang dimaksud adalah manusia (modal manusia) dan organisasi (organizational capital). Dalam istilah yang berbeda, kita lalu dapat menyandingkannya dengan konsep modal intelektual.

Pada intinya, terjadi perubahan-perubahan signifikan dalam lingkungan sekitar organisasi yang kemudian telah mendorong makin relevannya pembicaraan mengenai modal intelektual. Oleh karena itu, tulisan ini dibuat untuk membahas sejumlah hal di seputar konsep model intelektual ini untuk membangun pemahaman dan cara pandang terhadapnya, di samping untuk mendorong diskursus yang lebih jauh atasnya, termasuk untuk menstimulasi baik riset maupun formulasi strategi dan kebijakan yang relevan.

Dari kepentingan itu, tulisan ini disusun dengan memuat beberapa hal. Pertama, mengingat konsep modal intelektual cenderung baru, maka perlu dicari makna/definisi yang cenderung dapat kita terima untuk memahamimnya dengan
lebih baik. Kedua, sebagai sebuah konsep, maka modal intelektual tersusun atas sejumlah komponen pembentuk yang oleh karenanya perlu dipetakan apa saja komponen-komponen pembentuk yang dimaksud. Ketiga, jika modal intelektual merupakan faktor penentu kinerja dan keunggulan yang penting bagi organisasi dan masyarakat, maka salah satu persoalan vital yang muncul kemudian adalah bagaimana mengukurnya. Isu pengukuran modal intelektual masih merupakan wacana yang terus berkembang dan karenanya perlu diidentifikasi metodemetode pengukuran modal intelektual yang telah dikembangkan. Terakhir, tulisan ini berupaya untuk menarik sejumlah implikasi penting dalam rangka mengembangkan riset di bidang ini serta potensi aplikasinya melalui pengembangan strategi dan kebijakan yang penad, bagi organisasi dan masyarakat.

Apa yang Dimaksud dengan Modal Intelektual?
Satu sikap awal yang perlu didudukkan terlebih dahulu dalam mendefinisikan modal intelektual adalah bahwa kita perlu berterima atas kepelbagaian definisiyang ada. ”Intellectual capital can be defined in different ways,” ungkap Lonnqvist dan Mettanen (tt). Dalam konteks pengukuran investasi pengetahuan (knowledge investment), sebuah topik di bawah tema modal intelektual, Khan (2005) mengatakan bahwa belum ada definisi yang diterima bersama (commonly accepted definition) tentang investasi pengetahuan, walaupun mulai ada penyelarasan pemahaman tentangnya. Oleh karena itu, definisi (-definisi) yang dipakai di dalam paper ini terbuka untuk dilengkapi dengan definisi lain yang barangkali mengandung makna hakiki yang tidak persis sama.

Sebagaimana diungkapkan di atas, konsep modal intelektual kini mulai muncul sebagai konsep penting kehidupan dan pengembangan organisasi-organisasi dan kehidupan ekonomi yang lebih luas. Ia kini digunakan di tengah,
menandingi, atau melengkapi konsep-konsep lainnya tentang modal. Konsep-konsep tentang modal yang sudah kenal di antaranya adalah modal (finansial), modal fisik, dan juga modal manusia.

Sebagai sebuah konsep, modal intelektual merujuk pada modal-modal non fisik atau yang tidak berwujud (intangible assets) atau tidak kasat mata (invisible). Ia terkait dengan pengetahuan dan pengalaman manusia serta teknologi yang digunakan. Modal intelektual memiliki potensi memajukan organisasi dan masyarakat (Lonnqvist dan Mettanen).
Secara ringkas Smedlund dan Poyhonen (2005) mewacanakan modal intelektual sebagai kapabilitas organisasi untuk menciptakan, melakukan transfer, dan mengimplementasikan pengetahuan. Tampak sebanding dengan itu, Nahapiet
dan Ghoshal (1998) merujuknya sebagai knowledge dan knowing capability yang dimiliki oleh sebuah kolektivitas sosial (misalnya organisasi, komunitas intelektual, komunitas profesi). Definisi ini digunakan mereka dengan pertimbangan kedekatannya dengan konsep modal manusia, salah satu unsure modal intelektual yang oleh Fitz-enz (2000) disebut sebagai katalisator yang mampu mengaktifkan intangibles, komponen lain yang inactive. Secara eksplisit, definisi ini terkesan tidak cukup memadai untuk menjelaskan secara empiris sampai sejauh mana cakupan makna intellectual capital, dalam kedua komponen tersebut, knowledge dan knowing capability. Namun, dalam penjelasannya, mereka membedakan dua jenis pengetahuan, yakni pengetahuan individual, baik yang eksplisit (disebut conscious knowledge oleh Spender) maupun yang tacit (automatic knowledge), serta pengetahuan sosial yang juga terdiri atas yang eksplisit (objectified knowledge) dan yang tacit (collective knowledge). Penjelasan tersebut menglarifikasi batasan konsep mereka yang dapat disetarakan dengan definisi oleh penulis lain (e.g. Fitz-enz 2000; Pyke, Rylander, and Roos 2001; Lonnqvist and Mettanen tt) yang menggambarkan komponenkomponen kunci dari intellectual capital, yang akan dibahas secara terpisah di bawah.

Komponen Modal Intelektual
Pembahasan tentan komponen-komponen modal intelektual sebetulnya merupakan bagian dari definisi atau cakupan konsep. Namun, dalam paper ini hal ini sengaja dipisahkan untuk mengurai unsur-unsur pembentuk modal intelektual ini sehingga relatif memudahkan untuk melihat kaitannya nanti dalam aspek pengukurannya. Seperti ditemukan dalam Lonnqvist dan Mettanen, sama seperti soal definisi di atas, tampak juga ketidaksamaan pengidentifikasian komponen-komponen modal intelektual antar penulis. Lonnqvist dan Mettanen misalnya merujuk pada kerangka yang dipakai oleh Edvinsson dan Malone (1997), Sveiby (1997), Brooking (1996), serta Marr et al. (2002).

Edvinsson dan Malone memilah menjadi human, structural, dan customer capital.4 Sveiby (lihat juga dalam Guthrie and Petty 2000) menyebut komponennya adalah employee competence, internal structure, dan external structure. Makna setiap elemen hampir selaras, hanya sub komponen budaya dan filosofi manajemen organisasi yang dalam Edvinsson dan Malone merupakan bagian dari human capital atau kapabilitas individu pekerja, oleh Sveiby ditempatkan dalam bagian internal structure.

Sedangkan Brooking justru memecah menjadi 4 komponen, yakni humancentred assets, infrastructural assets, intellectual property assets, serta market assets. Jika dicermati, tidak berbeda dari komponen-komponen Edvinsson dan Malone serta Sveiby, kecuali bahwa komponen structural capital atau internal structure dipecah lagi oleh Brooking menjadi dua komponen yang terpisah. Asetasetinfrastruktur termasuk di dalamnya adalah proses-proses, metode, dan
teknologi. Sedangkan, properti intelektual berisikan hak cipta dan paten.

Modelnya Marr dkk pun sebetulnya tidak berbeda, walau dinamakan lain dan dikelompokkan menjadi 2 komponen besar yakni stakeholder resources (terdiri dari (external) stakeholder relationships dan human resources) dan structural resources (physical/tangible dan virtual/intangible). Kerangka tambahan yang dapat diajukan yang cukup selaras adalah kerangkanya Pyke et al (2001) dan Fitz-enz (2000). Kerangka ini barangkali dapat dijadikan pegangan utama, mengingat konfirmasi Pyke dkk bahwa setelah melalu berbagai review dalam 2 tahun terakhir (acuan tahun publikasi mereka) telah terjadi konvergensi dalam kategorisasi dan bahasa yang digunakan dalam model modal intelektual. Menurut kedua sumber itu, modal intelektual tersusun atas 3 komponen, yakni 1) seluruh atribut human capital (seperti intelektual, skills, kreativitas, cara kerja), 2) organizational capital (property intelektual, datadata proses-proses, budaya), dan 3) relational capital5 (seluruh relasi eksternal dengan konsumen, suppliers, partners, networks, regulators, dll). Keseluruhan hal itulah yang membentuk kesatuan entitas modal intelektual.

Komponen-komponen tersebut juga sebanding dengan komponen-komponen dalam taksonomi sumber daya intangible yang dikembangkan oleh Bounfour (2005), yakni auntonomous intangibles dan dependent intangible yang memuat unsur-unsur yang telah dibicarakan di atas. Model-model di atas muncul dari dan berfokus pada konteks atau level analisis perusahaan atau organisasi. Oleh karena itu, oleh Bontis (2005), modal intelektual pada level bangsa dipahami sebagai nilai-nilai tersembunyi (hidden values) dari individu-individu, perusahan-perusahaan, institusi-institusi, dan masyarakat serta wilayah yang merupakan sumber nyata maupun potensial bagi penciptaan nilai/kesejahteraan. Lebih jauh, dengan mengadopsi model Edvinsson dan Malone, Bontis (2005) merumuskan komponen modal intelektual bagi konteks bangsa atau masyarakat. Menurutnya dalam konteks ini, modal intelektual terdiri atas human capital, organizational capital (dipilah menjadi renewal capital dan process capital), serta market capital.6 Bersama dengan kekayaan/modal finansial, modal intelektual membentuk kekayaan/kesejahteraan bangsa, setara dengan konsep nilai pasar dari suatu perusahaan.

Masalah Pengukuran Modal Intelektual
Merujuk Fitz-enz (2000), mengakhiri abad 20, para pengelola organisasi telah menerima bahwa oranglah, dan bukannya kas, bangunan, dan peralatan, yang merupakan faktor pembeda kinerja. Apalagi ketika kini kita memasuki masyarakat atau perekonomian berbasis pengetahuan, peran modal manusia dan komponen modal intelektual lainnya menjadi sangat critical. Karena nilai kontribusinya yang makin signifikan, maka diperlukan suatu sistem pengukuran
yang handal untuk maksud mengukur untuk mengetahui di mana letak nilai (ekonomis) dan potensi-potensi sehingga dapat digunakan untuk mengelola modal intelektual bagi pertumbuhan.

Namun, justru salah satu masalah penting yang dihadapi adalah bagaimana mengukur aset-aset tan wujud atau modal intelektual. Hal ini diduga demikian karena memang selama ini kita hidup dalam dan diwariskan oleh suatu rezim manajemen dan akuntansi yang mengabaikan modal intelektual sebagai asset organisasi. Fitz-enz (2000, xi) mengatakan, buku-buku klasik manajemen telah mengabaikan, menghindar, atau menunjukkan sikap remeh terhadap nilai dalam diri manusia (human value). Sistem-sistem akuntansi yang sudah beroperasi lebih dari 500 tahun dinilai tidak memadai untuk tugas ini (Boudreau and Ramstad 1996). Lebih jauh, teori-teori modal yang berkembang dan beroperasi pada abad 19 (hingga awal abad 20) hanya atau lebih ’memberi muka’ kepada investasi pada aset-aset berwujud/fisik (tangible/physical assets), seperti pabrik dan peralatannya. Jika manusia diperhitungkan, maka ia hanya dinilai tenaganya (labor). Jelas ini adalah suatu bentuk pengabaian yang sangat parah, mengabaikan kemampuan manusia mengonsep dan membangun piramida di Mesir pada 3000an tahun lalu misalnya atau melakukan pekerjaan dan menghasilkan karya-karya besar dalam sejarah peradaban manusia. Jika pun telah ada stimulasi ide dari para pemikir seperti Marx, Gompers, Fayol, Barnard, Drucker, Peters, dan Handy, sampai mengakhiri abad 20 kita belum berhasil menuntaskan bagaimana mendemonstrasikan secara detail nilai relatif dari elemen manusia dan pengetahuan dan kemampuannya dalam persamaan keuntungan/profit (Fitz-enz 2000). Menurut istilah Boudreau dan Ramstad (1996), “no… magic bullet yet exists.”

Mengapa sulit? Merujuk Khan (2005), pekerjaan mendefinisikan dan khususnya mengukur pengetahuan dan modal intelektual secara umum dapat dikatakan sebagai sesuatu yang baru dan akan terus berkembang. Ia lebih jauh mengatakan, ada isu-isu konseptual yang belum tuntas7 yang kemudian berdampak pada masalah pada level pengumpulan data dalam upaya pengukuran ini. Di samping itu, menurut Nakamura (2005), proses produksi untuk faktor intangible (intellectual capital) lebih beresiko, daripada tangible assets. Namun, walaupun sulit, sangat jelas seperti dikemukakan Fitz-enz (2000) dan Nakamura (2005), bahwa mengukur human capital atau intellectual capital adalah mungkin.

Karena itu, seperti direview oleh beberapa penulis (Lonnqvist dan Mettanen tt; Boudreau dan Ramstad 1996; Guthrie dan Petty 2000; Malhotra 2003) ada sejumlah sistem, pendekatan, atau pengukuran yang telah dikembangkan atau dapat digunakan, walaupun masih terdapat sejumlah persoalan dengan pengukuran-pengukuran itu. Secara cukup lengkap, Malhotra mencatat sejumlah pendekatan pengukuran itu, yakni Skandia Navigator (Edvinsson and Malone), Balanced Scorecard (BSC, Kaplan dan Norton), Intangible Assets Monitor (Sveiby), IC-Index Model and HVA Model (Roos et al.), Technology Broker Model (Brooking). Pendekatan pengukuran yang bervariasi itu telah digunakan oleh berbagai organisasi/perusahaan8 dan selanjutnya laporan atau pernyataan tentang dan atas modal intelektualnya itu dipublikasi.

Pada bagian sebelumnya, components apa yang diukur dari model-model di atas telah disampaikan, kecuali BSC. BSC mengukur empat komponen kinerja organisasi, yakni inovasi dan pembelajaran, peningkatan proses bisnis, relasi dengan pelanggan, dan penciptaan nilai financial dan ukuran tanwujud.

Seperti dinyatakan Mouritsen et al. (2001), pernyataan atau laporan modal intelektual bersifat kompleks karena berisikan angka-angka, narasi, dan visualisasi. Angka, narasi, dan visualisasi ini terkait dengan constructs seperti informasi, pengetahuan, ide, inovasi, kreativitas, dan turunan-turunannya (Malhotra 2003). Karena itu, by nature, data atau keterangan yang dikumpulkan bersifat baik kuantitatif maupun kualitatif. Pengukuran-pengukuran itu dipandang
penting untuk melengkapi pengukuran/laporan financial.

Sebagai contoh, mengadopsi pengukuran Sveiby, Guthrie dan Petty (2000) menilai pelaporan modal intelektual 20 perusahaan terbaik di Australia dari annual reportnya. 24 variabel digunakan untuk mengidentifikasi apakah annual report perusahaan mengandung komponen/indikator modal intelektual pada 3 kluster/komponen modal intelektual Sveiby (internal structure 9 variabel, external structure 9 variabel, dan employee competence 6 item).

Sebuah model pembanding yang mencoba menggunakan pengukuran kuantitatif adalah metode pengukuran yang dikembangkan Lonnqvis dan Mettanen dari sebuah studi kasus di Finlandia. Berdasarkan diskusi bersama tim manajemen perusahaan kasus, penulis cukup mudah mendapatkan 4 faktor sukses kunci, yakni 1) tanggung jawab, kompetensi terkait computer, 3) pengetahuan tentang operasi perusahaan, 4) pengenalan akan proses-proses bagi pelanggan.

Namun, ternyata sulit bagi tim manajemen dan penulis untuk kemudian menentukan indikator konkrit untuk mengukur
Setelah merekonstruksi pendekatannya, penulis bersama management team kemudian datang dengan 8 faktor sukses dan indikator pengukur seperti pada table di bawah. Namun, jelas dalam proses ini sejumlah faktor sukses yang sulit diukur secara kuantitatif atau dikuantifikasi terpaksa dipangkas dan ini mereduksi informasi tentang keadaan modal intelektual. Bahkan, faktor sukses yang diterima tetapi ‘dipaksa’ diukur dengan metode kuantitatif pun mengalami reduksi makna.

Sedangkan untuk pengukuran modal intelektual bagi bangsa atau masyarakat juga terdapat beberapa kemungkinan pendekatan. Misalnya Bontis (2005) memunculkan National Intellectual Capital Index (NICI) yang tersusun dari National Human Capital Index (NHCI), National Process Capital Index (NPCI), National Market Capital Index (NMCI), National Renewal Capital Index (NRCI) ditambah dengan National Financial Index (Financial Capital/FC). Lain halnya dengan Khan (2005) menggunakan pendekatan pengukuran atas pengeluaranpengeluaran untuk riset dan pengembangan (R&D) dan inovasi, pendidikan (tinggi) dan pelatihan, dan software.

Institut Bank Dunia dengan program Knowledge for Development membangun Knowledge Economy Index (KEI). Di samping indikator kinerja yakni GDP Growth (%) dan Human Development Index (HDI), ada empat sub-indeks dalam KEI, yakni Economic Incentive and Institutional Regime (EIR: Tariff dan non-tariff barriers, regulatory quality, dan rule of law), Education and Training (adult literacy rate (% age >= 15), secondary enrollment (%), tertiary enrollment (%)), Innovation and Technological Adoption (researchers in R&D/million people, scientific and technical journal articles/million people, patent application granted by US Patent and Trademark Office/million people), serta ICT Insfrastructure (Telephone per 1,000 orang, computers per 1.000 orang, dan internet users per 10.000 orang). Hasil pemeringkatan KEI saya lampirkan untuk menjadi gambaran.

Metode-metode pengukuran yang ada dapat memunculkan hasil di mana suatu organisasi atau masyarakat berada pada kondisi modal intelektual yang tinggi ataupun rendah, sebuah kontinuum. Namun menarik bahwa secara eksplisit
dalam konteks seperti, oleh North dan Kares (2005), diangkat dan diukur justru konsep atau kondisi pengabaian (ignorance), yakni kondisi kurangnya pengetahuan, pendidikan, dan informasi tentangn sesuatu atau ketidaksadaran (unawareness) akan sesuatu keadaan. Mereka menyebut pengukuran ini sebagai the ignorance meter.

Terdapat 10 pasang kriteria atau dimensi pengukuran kondisi ignorance vs. intelligence, yakni 1) autisme vs. openness, 2) blindness vs. vision, 3) followership vs. leadership, 4) disintegration vs. cohesion, 5) vanity vs. selfreflection, 6) abuse vs. use of competencies, 7) regression vs. learning, 8) disruption vs. connectivity, 9) lethargy vs. initiative, dan 10) no-risk vs. experimentation. Untuk mengukur ignorance North dan Kares menggunakan seperangkat kuesioner berisi 10 pertanyaan yang merefleksikan 10 kriteria di atas dengan jawaban berskala 1 (=not at all/not existent) hingga 7 (=very high).

Pengukuran impact dari modal intellectual, merujuk Fitz-enz (2000), dapat dilakukan dengan melihatnya pada 3 level. Level pertama adalah pada organizational/community goals, baik dampak pada financial, pelanggan, maupun aspek manusia. Level kedua adalah pada tingkat unit bisnis atau submasyarakat, dengan mengukur perubahan pada aspek layanan, kualitas, dan produktivitas. Level ketiga yang merupakan dampak primer yakni output pada aspek-aspek manajemen modal intelektual itu sendiri. Misanya pada isu human capital, Fitz-enz mengukut jumlah orang yang dipekerjakan, gaji dan kompensasi lain, dukungan/fasilitasi manajerial, pengembangan, dan kemampuan memertahankan sdm. Juga, dapat diukur nilai-nilai biaya, waktu yang dikonsumsi, volume yang dipakai atau dihasilkan, tingkat kecacatan hasil, serta kecepatan reaksi atas kebutuhan.

Sedangkan pada level masyarakat dapat dilihat beberapa indikator dampak yang diukur seperti pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan standar hidup yang didorong oleh produksi pengetahuan baru baik dalam bentuk teknologi (hak cipta, paten), modal manusia (populasi yang terdidik dan kreatif), maupun program-program komputer dan infrastruktur ICT yang dinamis (Khan 2005). Ambil contoh aplikasinya, Bank Dunia misalnya mengorelasikan KEI dengan GDP per capita (lihat Aubert 2005).

Implikasi bagi Riset dan Kebijakan Organisasi dan Pembangunan
Dari pemaparan di atas, literature telah datang dengan penyimpulan bahwa intellectual capital is a significant source of competitiveness, baik pada level organisasi maupun nasional (lihat Smedlund and Poyhonen 2005). Hal ini tentu membawa implikasi pada upaya untuk lebih memahami kondisi, perkembangan, hambatan, dan berbagai persoalan terkait dengan isu modal intelektual ini. Risetriset dan rencana tindakan untuk meningkatkan pemahaman akan dan kondisi kualitas modal intelektual perlu dilakukan dan dikembangkan.

Dalam konteks ini, perspective pengembangan sumber daya manusia dan organisasi yang akan digunakan. Mengingat keterbatasan waktu, bagian ini belum dapat dikembangkan oleh penulis. Namun, dengan kondisi ini, masukan diskusi akan sangat berharga bagi pengembangan gagasan di bagian ini.

References:

Aubert, Jean-Eric. 2005. Knowledge Economies: A Global Perspective. Dalam Bounfour and Edvinsson.

Barney, Jay B. 1991. Firm Resources and Sustained Competitive Advantage. Journal of Management vol 17 no 1, pp.
99-120.

Barney, Jay B. 2001. Resource-based Theories of Competitive Advantage: A Ten Year Retrospective on the Resource-based View. Journal of Management vol 27, pp. 643-650.

Barney, Jay B. 2007. Gaining and Sustaining Competitive Advantage. US: Pearson Prentice Hall.

Bontis, Nick. 2005. National Intellectual Capital Index: The Benchmarking of Arab Countries.

Boudreau, John W. and Peter M. Ramstad. 1996. Measuring Intellectual Capital: Learning from Financial History. School of Industrial and Labor Relations, Cornell University, Center for Advanced Human Resource Studies (CAHRS) Working Paper No 96- 08.

Boudreau, John W. and Peter M. Ramstad. 2007. Beyond HR: The New Science of Human Capital. Boston: Harvard Business School Press.

Bounfour, Ahmed and Leif Edvinsson. 2005. Intellectual Capital for Communities Nations, Regions, Cities. Oxford: Elsevier.

Drucker, Peter F. 1997. Manajemen di Tengah Perubahan Besar. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Drucker, Peter F. 2001. The Essential Drucker. New York: Harper Collins.

Fitz-enz, Jac. 2000. The ROI of Human Capital: Measuring the Economic Value of Employee Performance. New York: AMACOM.

Guthrie, James and Richard Petty. 2000. Intellectual Capital: Australian Annual Reporting Practices. Journal of Intellectual Capital Vol 1 No 3, 241-251.

Khan, Mosahid. 2005. Estimating the Level of Investment in Knowledge Across the OECD Countries. Dalam Bounfour and Edvinsson.

Lewin, Peter and Steven E. Phelan. 1999. Rent and Resources: A Market Process Perspective. An unpublished draft of report. Dallas, Texas: University of Texas.

Lonnqvist, Antti and Paula Mettane. TT. Criteria of Sound Intellectual Capital Measures. Finland: Institute of Industrial Managemtn, Tampere University of Technology.

Lundvall, Bengt-Ake. 1996. The Social Dimension of the Learning Economy. Danish Reseach Unit for Industrial Dynamics (DRUID) Working Paper No. 96-1.

Malhotra, Yogesh. 2003. Measuring Knowledge Assets of a Nation: Knowledge Systems for Development. A research paper delivered at the UN Advisory Meeting of the Dept of Economic and Social Affairs. UN Headquarters, New York, 4-5 September 2003.

Mauritsen, J., H.T. Larsen, and P.N.D. Bukh. 2001. Intellectual Capital and the Capable Firm: Narrating, Visualising and Numbering for Managing Knowledge. Accounting, Organization and Society. No 7/8.

Nahapiet, Janine and Sumantra Ghoshal. 1998. Social Capital, Intellectual Capital, and the Organizational Advantage. Academy of Management Review Vol 23 No 2, 242-266.

Nakamura, Leonard. 2005. Investing in Intangibles: Is a Trillion Dollars Missing from the Gross Domestic Product? Dalam Bounfour and Edvinsson.

North, Klaus and Stefanie Kares. 2005. Ragusa or How to Measure Ignorance: The Ignorance Meter. Dalam Bounfour and Edvinsson.

Pfeffer, Jeffrey. 1996. Keunggulan Bersaing Melalui Manusia. Jakarta: Binarupa Aksara.

Pyke, Steve, Anna Rylander, and Goran Roos. 2001. Intellectual Capital Management and Disclosure. Chapter Submitted to Nick Bontis and Chun Wei Choo. The Strategic Management of Intellectual Capital and Organizational
Knowledge. New York: Oxford University Press.

Smedlund, Anssi and Aino Poynonen. 2005. Intellectual Capital Creation in Regions: A Knowledge System Approach. Dalam Bounfour and Edvinsson.

Ulrich, Dave. 1997. Human Resouce Champions. Boston: Harvard Business School Press.

Wright, Patrick M., Gary C. McMahan, and Abagail McWilliams. 1994. Human Resources and Sustained Competitive Advantage: A Resource-based Perspective. International Journal of Human Resource Management Vol 5 No 2, pp. 301-325.

1 komentar:

  1. I cannot thank Mr Benjamin service enough and letting people know how grateful I am for all the assistance that you and your team staff have provided and I look forward to recommending friends and family should they need financial advice or assistance @ 1,9% Rate for Business Loan .Via Contact : . lfdsloans@outlook.com. WhatsApp...+ 19893943740. Keep up the great work.
    Thanks, Busarakham.

    BalasHapus